Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

SFC

Baru baru ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor mencanangkan program andalannya 'Setu Front City'. Konsepnya, bagaimana menata kota dengan memanfaatkan keberadaan setu setu yang tersebar di hampir 40 kecamatan. Sebagai pilot project, ada tiga setu yang mau dijadikan sebagai percontohan. Di antaranya setu cikaret, setu kebantenan dan setu pemda. Niat baik pemerintah intinya bagaimana membuat setu ini jadi ikon Kabupaten Bogor. Secara pribadi, saya senang dan mendukung program itu. Sejak SMP saya selalu bertanya " apa yang dipunya daerahku"."apa yang bisa dibanggakan dari tanah kelahiranku ". Bahkan, saat saya jadi mahasiswi perantauan, cukup bingung menunjukkan keunggualan daerah sendiri.  Tapi, biar begitu saya tak pernah malu mengenalkan nama Citeureup ke banyak teman.  Ujungnya paling mereka meledek kalau nama itu tidak tercantum di peta. Atau bagi sebagian yang sudah pernah singgah, tetap pula mencibir. Wajar sih, karena jalan

Menulislah

TIdak terasa, sudah hampir empat tahun saya kerja di perusahaan media lokal. Perusahaan yang semula tak ada yang mengenal, kini justru dikenal dengan tulisannya yang tajam. Saya jadi ingat, ketika mengawal proses pergantian direksi di salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik pemerintah. Selama hampir enam bulan berturut-turut, headline saya tak lepas dari kritik, evaluasi atas kinerja direksi selama dua periode.  Bahkan, saya diminta oleh pak bos untuk membedah di balik perjanjian kerjasama yang selama ini sudah dilakukan direksi dengan perusahaan swasta. Beberapa istilah harus dipelajari, mulai dari BT, BTO, BOT. Ya, semuanya dipreteli plus minusnya. Bahkan, saya juga diminta untuk menganalisis keuntungan yang seharusnya bisa diraup pemerintah dengan beberapa potensi penarikan retribusinya.

Geng Pecel

Teman seperjuangan, Geng Pecel. Isinya, aku, Veny, Bebet dan Kiki. Empat mahasiswi yang mengenyam pendidikan di kota orang. Tepatnya di Kota Semarang yang dikenal sebagai Kota ATLAS, alias kota yang katanya Aman, Tertib, Lancar, Asri, Sehat. Aku pribadi tidak begitu peduli dengan slogan itu. Tapi, jujur saja, bagi ku Semarang adalah kota istimewa. Kota yang banyak mengubah hidup ku, dari anak rumahan menjadi anak kos yang dituntut hidup mandiri tanpa orang tua. Tentu saja awalnya tidak mudah,tapi semuanya harus tetap dilalui. Bagaimana rasanya menginap di masjid, karena ketakutan mengisi rumah kos yang masih ditinggal penghuninya mudik. Belum lagi merasakan tinggal di kos seharga Rp200 ribu di Jalan Pekunden Raya. Aku ingat, luas kamarnya nyaris mirip seperti kamar mandi. Dan, setelah sembilan bulan menempatinya aku mendadak disuruh mencari kosan baru. Untungnya bisa menyewa kamar satu bulan milik salah satu tetangga kos.  Aku dan teman seperjuangan selalu berba