Langsung ke konten utama

SFC


Baru baru ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor mencanangkan program andalannya 'Setu Front City'. Konsepnya, bagaimana menata kota dengan memanfaatkan keberadaan setu setu yang tersebar di hampir 40 kecamatan.
Sebagai pilot project, ada tiga setu yang mau dijadikan sebagai percontohan. Di antaranya setu cikaret, setu kebantenan dan setu pemda. Niat baik pemerintah intinya bagaimana membuat setu ini jadi ikon Kabupaten Bogor.


Secara pribadi, saya senang dan mendukung program itu. Sejak SMP saya selalu bertanya "apa yang dipunya daerahku"."apa yang bisa dibanggakan dari tanah kelahiranku". Bahkan, saat saya jadi mahasiswi perantauan, cukup bingung menunjukkan keunggualan daerah sendiri. 

Tapi, biar begitu saya tak pernah malu mengenalkan nama Citeureup ke banyak teman.  Ujungnya paling mereka meledek kalau nama itu tidak tercantum di peta. Atau bagi sebagian yang sudah pernah singgah, tetap pula mencibir. Wajar sih, karena jalan menuju rumah saya cukup buruk bahkan sangat sangat buruk. Padahal, jalan itu jadi akses utama yang mendukung perekonomian di wilayah Citeureup dan sekitarnya.

Anehnya, hampir tidak pernah melihat UPT wilayah ini melakukan aktivitas perbaikan dan pemeliharaan jalan. Paling, warga setempat yang akhirnya menaruh puing bangunan ke jalan.  Oke, kembali lagi ke topik awal.



Jujur, saya penasaran dengan program setu front city. Saya tidak tahu ada motif apa di balik pencanangan itu. Apalagi, sewaktu mendengarkan ulasan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bahwa pemda membuka peluang selebar lebarnya bagi investor masuk ke Kabupaten bogor dan memanfaatkan setu yang ada untuk kepentingan bisnis. Syaratnya, dengan mengikuti aturan pemda.

Ya, saya tahu ketika investor masuk maka ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekelilingnya. Tapi, tetap saja ada rasa takut jika proyek ini hanya untuk mengikuti nafsu mereka si pemilik modal besar.
Sementara, masyarakat lokal hanya bisa gigit jari jadi penonton di tengah majunya suatu wilayah. 


Ingin rasanya saya menyebutkan salah satu kawasan yang ada di kabupaten bogor. Wilayahnya memang tertata rapi, aksesnya juga mudah. Penataannya sangatlah rapi. Fasilitas satu dan lainnya benar benar terencana dan terpadu.
Tapi lagi lagi, yang bisa menikmati hanya orang orang berduit. Ya, orang orang berduit yang kemana mana naiknya mobil pribadi. Deretan kafe berjajar, tapi harganya tentu bikin kantong jebol. Tempat itu hanya bisa dinikmati mereka yang berkantong tebal. 
 
Sementara, warga lokal, hanya bisa melihat dari luar sambil menghayal. Lebih sedihnya, keberadaan lokasi yang kini maju itu masih menyisakan sengketa lahan dengan warga. Beruntung, beberapa waktu lalu sudah ada keputusan dari PTUN Bandung kalau tanah tersebut benar adanya milik warga buka PT itu.


Entahlah, akan seperti apa akhir dari rencana setu front city dari pemerintah kabupaten (pemkab)bogor.tapi semoga mengedepankan kearifan lokal, dan paling penting proyek itu tidak membuat warga pribumi jadi terasingkan dari tanah kelahirannya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,