Langsung ke konten utama

Geng Pecel

Teman seperjuangan, Geng Pecel. Isinya, aku, Veny, Bebet dan Kiki. Empat mahasiswi yang mengenyam pendidikan di kota orang. Tepatnya di Kota Semarang yang dikenal sebagai Kota ATLAS, alias kota yang katanya Aman, Tertib, Lancar, Asri, Sehat. Aku pribadi tidak begitu peduli dengan slogan itu. Tapi, jujur saja, bagi ku Semarang adalah kota istimewa.

Kota yang banyak mengubah hidup ku, dari anak rumahan menjadi anak kos yang dituntut hidup mandiri tanpa orang tua. Tentu saja awalnya tidak mudah,tapi semuanya harus tetap dilalui. Bagaimana rasanya menginap di masjid, karena ketakutan mengisi rumah kos yang masih ditinggal penghuninya mudik.
Belum lagi merasakan tinggal di kos seharga Rp200 ribu di Jalan Pekunden Raya. Aku ingat, luas kamarnya nyaris mirip seperti kamar mandi. Dan, setelah sembilan bulan menempatinya aku mendadak disuruh mencari kosan baru. Untungnya bisa menyewa kamar satu bulan milik salah satu tetangga kos. 

Aku dan teman seperjuangan selalu berbagi cerita. Meski berasal dari budaya dan agama berbeda, tapi kami selalu menghormati satu sama lain. Aku dan Kiki punya kesamaan budaya, yakni sama-sama berasal dari suku Jawa. Bedanya, aku lama tinggal di Bogor sedangkan Kiki di Boyolali. 
Begitupula dengan Bebet dan Veny. Keduanya punya darah batak. Hanya saja, Veny dan keluarganya tinggal di Jakarta, sementara Bebet tinggal di Medan. Tepatnya, di Tarutung. Jarak dari Kota Medan ke tempat Beber kurang lebih 294 KM atau butuh sekitar enam jam perjalanan. 

 
Kami berempat dipertemukan di kampus orange, sebutan untuk kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip). Kami sama-sama menjadi perantau di kota orang. Saat kuliah, kami suka berandai-andai, jika lulus nanti, kami akan menguasai Ibukota.
Mimpi itu nyaris terwujud. Tiga dari kami benar-benar melalui hiruk pikuk di Ibukota. Kiki menjadi PNS di salah satu Kementrian, Veny menjadi reporter di televisi swasta, Bebet dengan dunia balik layarnya untuk televisi swasta. Sedangkan aku, masih dengan dunia pers yang dulu pernah digeluti. Bedanya, dulu aku tak bisa menulis, kini yang aku hindari justru menjadi santapan sehari-hari. Aku memulai karir di koran lokal yang usianya berumur jagung. 
Kami sama-sama meniti dari nol, dan mencoba menaiki setiap anak tangga.
Dalam setahun, kami selalu menyempatkan diri bertemu. Menyisakan waktu di sela kesibukan untuk berbagi kisah. Pahit getir dan manisnya hidup jadi satu warna yang kami bagikan. Kami saling diskusi, bahkan tidak jarang pula mengkritik. Kami ceplas-ceplos. Bicara sejujurnya demi kebaikan satu sama lain.
Teman Seperjuangan, berjuang di jalannya masing-masing. Semoga selalu dimudahkan dan dilancarkan menggapai mimpi dan cita-cita . AMIN :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,