Langsung ke konten utama

Insyaallah, Kamu Jodohku (1)


"Minggu depan aku mau menemui bapak ibu ya" ujar Ama pada Ari.

"Iyess....,"jawab Ari dalam hati.

Ari senang sekali mendengar kalimat itu. Ia tak sabar menunggu kedatangan calon suaminya. Ia ingin Ama mengutarakan perasaannya langsung pada bapak ibunya. Setidaknya, itu bisa jadi pengikat hubungannya sambil menanti hari bahagia itu tiba.

Dug...dug...
Allahu Akbar..... Allahu akbar....

Suara bedug adzan dzuhur sudah terdengar. Tak terasa, sudah pukul 12:00 wib.

Sabtu siang. suasana hari itu cerah sekali. Ama janji akan ke rumah Ari. Wanita yang sempat menolak lelaki itu akhirnya benar-benar jatuh hati. Ari menunggu kedatangan Ama yang bilang akan ke rumah siang hari.

Tapi, sampai pukul 14:00 wib, tidak ada kabar darinya. Sosok lelaki itu tidak juga muncul di rumahnya.
" Mbak, mas mu jadi ke rumah tidak," kata ibunda Ari menanyakan.

"Jadi bu, sepertinya sore,"jawab Ari pada sang bunda,

"oh.., yasudah. Ibu mau istrirahat dulu,"kata ibu sambil masuk ke dalam kamar.

Satu jam berlalu, tiba-tiba telpon rumah berdering. Ibu Ari mendadak lemas, begitu mendapat kabar kalau orang tuanya tengah kritis. Rencananya, baru besok bapak ibu Ari akan bertolak ke Solo. Tapi, tak lama giliran ponsel ibu yang berbunyi.

Saat itu pula, kabar duka datang. Kakek Ari yang sudah setahun terbaring di kasur meninggal dunia Di hari itu pula ayah ibu Ari memutuskan untuk ke Solo.

Sore itu pikiran Ari terbagi dua. Antara memikirikan almarhum kakek dan memikirkan Ama yang membuat janji akan datang menemui orang tua Ari.

Pikiran Ari saat itu sedikit cemas. Di satu sisi ia ingin Ama datang dan bicara tentang niat baiknya. Tapi ia juga tak tega melihar ibunya sudah gelisah ingin cepat cepat sampai ke rumah kakek yang kini sudah terbujur kaku.

"Mas mu sudah di mana. Kalau masih lama, leboh baik diurungkan saja. Bisa diatur lagi jadwalnya setelah bapak ibu pulang dari rumah si mbah,"ujar ibu sambil bersiap-siap mengenakan pakaian.

"Coba ditelpon saja,"timpal bapak.

Akhirnya saat itu juga Ari menelpon Ama, lelaki yang dipilihnya sebagai calon suaminya nanti.  Ia sengaja tidak memberitahukan kabar duka tentang kakeknya via telpon.  Karena khawatir pertemuan Ama dan kedua orang tuanya tertunda lagi. Dan, ia juga tidak mau Ama jadi tidak fokus selama di jalan.

Sayang, Ama tak mengangkat telpon Ari. Tak lama, giliran ponsel Ari yang berdering. Saat itu, ia bilang sudah dekat dengan rumah Ari. Sedangkan ibu sudah tak sabar ingin segera berangkat. Bapak pun sudah mengeluarkan mobil.

Saat itu Ari sempat khawatir. Dia membatin.
"Ya Allah kalau hari ini mas Ama batal ketemu bapak ibu, apakah itu bagian petanda darimu kalau dia bukan orang yang tepat. Ya Allah aku mohon, kalau betul Ama jodoh ku, dengan cara-MU izinkan dia datang bertemu bapak ibu, sebelum mereka berangkat," doa Ari sembari menunggu.

Sampai akhirnya tepat di saat bapak ibu pamitan berangkat ke Solo, tiba tiba seorang lelaki dengan motornya muncul di depan rumah. Sore itu Ama datang sebelum bapak ibu berangkat ke Solo.

Perasaan Ari pun bahagia luar biasa. Ada rasa lega, terharu dan senang saat melihat sosok Ama  muncul. Ya, walaupun bapak ibu tidak bisa berbicara lama. Tapi paling tidak, Ama sudah mengutarakan perasaannya pada orang tua Ari.

Saat melihat wajah Ama, Ari mengucapkan rasa syukurnya.
"Alhamdulillah ya Allah, Engkau kabulkan doaku. Insyaallah kamulah jodoh dunia akhirat ku. Aamin,"batin Ari mengenang saat saat genting menunggu kedatangan Ama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,