Langsung ke konten utama

Jelang Persalinan Part I




"HPL nya 28 Agustus 2019 ya bu" ujar dr Alex, dokter kandungan yang biasa aku datangi.

Mendekati waktu HPL, suamiku menyuruh agar aku segera cuti. Dia khawatir dengan kandungan yang semakin terlihat besar. Malahan, sejak 1 Agustus aku sudah disuruh ambil cuti. 

Hanya saja aku menolaknya. Memangnya enak, menunggu waktu lahiran di rumah tanpa punya kegiatan. 

" enggak ah. Aku mau kerja aja biar gak berasa,"jawabku pada suami.

Saat kandungan sembilan bulan, aku masih ke kantor dan pulang malam. Sampai akhirnya aku dipaksa ambil cuti dua minggu jelang Hpl. 

Sebenarnya aku keberatan, karena khawatir boring di rumah. Tapi jujur juga,  untuk pergi ke kantor rasanya badan sudah tak karuan. Bukan hanya engap, tapi kadang terasa kontraksi palsunya. Itu yang membuat bekerja pun jadi tak bisa all out.

Oiya selama hamil aku juga tidak pernah ke kantor mengendarai motor sendiri. Jadi kalau tak diantar suami, aku pesan grab. 

Setelah cuti, aku coba menikmati waktu di rumah. Sebagai ibu rumah tangga. Seminggu pertama masih bisa menikmati, seminggu setelahnya mulai dilanda kecemasan. Antara ingin segera melahirkan tapi juga ada rasa takut.

Sampai akhirnya lewat dari HPL, aku juga belum ada tanda tanda melahirkan. Saat itu, aku sudah meminta suami macam macam. Mulai dari ngajak ke bioskop, pingin cilok ibu dan rupa rupa lainnya.

Tiga hari sebelum lahiran, aku minta nginep di rumah ibu siapa tau dengan pergi ke sana, bayi ini segera lahir. Aku hanya merasa bosan di rumah. Gerak ku tak banyak.

Tadinya hanya berniat semalam. Tapi rasanya masih ingin di rumah ibu. Akhirnya izin suami, dan dibolehkan.

"Kamu ada makanan yang dipinginin nggak?" tanya ibu saat di rumah.

"nggak ada bu" jawabku.

Tapi lantas aku ingat kalau aku pernah berucap pada suami kalau aku ingin stok cilok ibu. Jadi saat aku lapar saat nanti sudah lahiran,  bisa langsung mengukusnya.

Aku lantas mengajak ibu ke pasar untuk buat adonan cilok. Waktu itu, ibu melarangku ikut karena khawatir aku terpeleset di jalan. Tapi, aku ngeyel dan tetep ingin ikut.

Sorenya aku dijemput suami. Dan keesokannya adalah jadwal konsultasiku dengan dokter Alex.  Akhirnya,  ketika itu aku sudah pembukaan satu. Hanya saja kepala bayi masih jauh dari mulut rahim.

Ketika itu, dokter Alex menyuruhku agar banyak jalan. Aku pun mengikuti sarannya. Setelah konsultasi, aku tak henti hentinya mengajak agar si buah hati segera lahir. Bahkan, pada Sabtu (31/9/19) aku mengajak suami untuk ke pusat perbelanjaan membeli kebutuhan rumah tangga. Aku kekeuh meminta suami menemaniku belanja.

Ketika itu, aku mempersiapkan kebutuhan sampai beberapa bulan ke depan. Ya sekaligus untuk persiapan pasca lahiran. Saat asyik muter, perutsudah terasa mulasnya. Pinggang juga sudah tidak karuan. Aku sengaja keliling dari satu sudut ke sudut lain.

Setiap kali terasa mulas, aku coba mengalihkannya dengan melihat hal yang aku suka di sana. sampai akhirnya celana ku terasa basah. Tadinya aku pikir sudah keluar flek, tanda orang melahirkan. Tapi saat aku periksakan ke kamar mandi, ternyata nihil.

Kami pun akhirnya kembali ke rumah dengan barang belanjaan seabreg. Dan sorenya, suami masuk kerja. Saat itu, ia harus menggantikan temannya. Karena bertepatan dengan malam tahun baru islam, aku bilang kalau akan ke rumah Emi selepas maghrib.  Maklum, kalau di rumah Emi, aku bisa langsung melihat pawai obor.

Malam Tahun Baru Islam



Di saat orang orang menikmati ramainya pawai, aku pergi ke kamar. Pinggang ku rasanya tidak karuan.Panas juga disertai pegal.

"Ndi, makan dulu neng,"ujar  Emi yang datang menemuiku tengah berbaring di kasur.

"Iya mi, nanti,"jawabku

"Kenapa, perutnya mules?"tanya Emi yang melihatku tampak menahan sakit

"Enggak tau ni. Pinggang rasanya sakit banget,"kataku.

"Sing sehat atuh.Kalau mau lahiran, biar selamat,"kata Emi sambil mengelus perutku.

Emi pun keluar dari kamar. Tak lama, aku coba berdiri. Ketika itu, aku berniat ingin keluar rumah. Tiba tiba air keluar dari celana. Banyak sekali. Aku sampai duduk sangking banyaknya air yang keluar. Bajuku seketika basah.

Aku pun segera dibawa ke bidan, dekat rumah. Bapak, emi juga kakak ipar langsung mengantarku ke bidan. Di sana aku langsung dicek. Kupikir malam itu juga akan melahirkan, Karena saat itu cairan yang keluar memang banyak. Aku pikir itu air ketuban.

Tapi, saat dicek oleh bidan Eka, katanya itu bukan ketuban. Aku disuruh menginap di ruang persalinan. Suamiku yang baru pulang kerja juga langsung ke ruang persalinan. Dia menemaniku semalam suntuk.

Sampai pagi hari, tidak ada tanda tanda melahirkan. Pembukaannya pun tidak bertambah. Sampai akhirnya aku memilih untuk pulang. Toh, jarak antara rumah dan tempat praktik bidannya pun tak terlalu jauh.

Emi mengantarku pulang. Aku disuruh ke rumahnya agar mudah dipantau. Aku pun menurutinya. Sampai akhirnya di perjalanan, aku berpapasan dengan penjual bale bambu.

Saat itu aku pun langsung teringat ucapan pada suami.
"Yang, nanti kita beli bale bambu ya. Jadi pas anak kita lahir, bisa dijemur pake bale itu,"ujarku sebelum lahiran.

Aku pun bilang pada emi soal ucapan itu. Akhirnya, emi meminta agar si tukang bale itu berhenti. Emi ikut bantu menawarnya dari harga awal Rp500 ribu menjadi Rp300 ribu. Akhirnya, bale bambu panjang itu jadi juga aku beli.

Percaya atau tidak, ucapan saat hamil memang tidak boleh sembarangan.

Seharian itu perutku rasanya luar biasa. Tapi masih bisa aku tahan. Tiap kali terasa nyeri dan sakit, aku coba merilekskan diri. Menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan. Aku juga tak bosan-bosannya mengajak agar si buah hati segera lahir.

kata bu bidan, aku disuruh banyak jalan. Akhirnya Minggu sore aku minta diantarkan suami ke depo bangunan. Sekadar melihat berbagai peralatan dan mencari referensi. Katanya kalau begitu sakitnya tidak akan terasa.  Sebelum ke sana, aku memeriksakan dulu kandunganku. Ternyata masih pembukaan dua.

Akhirnya aku makin semangat mengajak suami untuk jalan. Aku ingin agar bayi ini segera lahir. Rasanya sudah tak sabar.

Dengan sedikit berat hati, suamiku menuruti keinginan itu. Kami pergi naik motor. Selama di perjalanan memang nyerinya luar biasa. Niat awalku untuk ke depo bangunan pun batal, setelah di tengah jalan aku tak tahan.

Aku berhenti di sebuah masjid. Saat itu ingin sekali aku baung air kecil.  Sementara perut terasa melilit sekali.
"Yakin masih mau ke depo"kata suamiku.

"Emm.., kayaknya enggak deh. Kita ke kantor aja yuk, aku mau ambil baso aci,"kata ku.

"Yaudah iya,"jawab suami yang tampaknya sudah tak ingin lagi berdebat denganku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,