Langsung ke konten utama

Kota Ini



Kota Ini

Dulu saya mengenal kota ini sebagai kota hujan, yang tak lepas dari image sebagai penyumbang kendaraan roda empat. Istilahnya kota sejuta angkot.

Tapi ternyata, kota ini punya banyak sebutan. Saya jadi ingat ketika duduk santai sambil menyeruput kopi di kawasan Dr. Semeru. Seorang warga mengeluhkan panasnya kota Bogor yang makin hari makin menjadi-jadi. Bahkan, dia pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap pembangunan yang terjadi.

Konon, pohon-pohon kenari yang selalu menyambut pendatang dari luar Kota Bogor kini harus berganti jadi bangunan tinggi.

Saya juga tidak hafal persis, kondisi Kota Bogor tempo dulu. Karena, saya sendiri bukanlah warga Bogor, melainkan warga Kabupaten Bogor.  Saya juga tidak bisa membandingkan keadaan Bogor zaman dulu dengan saat ini.

Tapi yang pasti, setelah hampir 1.5 tahun saya bekerja di Kota Bogor, makin terasa apa yang banyak dikeluhkan warga kebanyakan. Mulai dari kemacetan, suhu cuaca yang makin panas, debu kendaraan bermotor yang makin menjadi-jadi.  Dan, banyaknya bangunan tinggi yang mengurangi kawasan hijau.

Dan saat ini, bangunan tinggi jadi sorotan banyak pihak. Mulai dari media, masyarakat sampai dengan para akademisi. Betapa tidak, bangunan itu bak jamur di musim hujan. Banyak sekali pembangunan yang saat ini berjalan.

Tapi anehnya, seringkali setelah bangunan itu berdiri, muncul permasalahan baru yang ujungnya pada aksi demo, gugat-menggugat dan atau penyegelan. Dan, kebanyakan yang terjadi di kota ini bangunan telah berdiri, baru para pengusahanya sibuk mengurusi izin. Ibarat hamil di luar nikah. Setelah hamil, baru sibuk mengurusi izin nikah.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi. Sejumlah media tingkat lokal dan nasional memberitakan aksi ngamuk sang walikota atas kegiatan perdagangan yang dilakukan salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Dramaga Bogor. Bahkan, tempat yang baru buka tiga hari ini langsung ditutup oleh walikota, lantaran tidak memiliki izin gangguan (HO).

Aneh memang. Bangunan yang sudah berdiri megah, sudah beroperasi justru masih bermasalah dengan proses perizinannya. Meski izin tersebut diurus pada periode sebelumnya, mau tidak mau pemerintahan Bogor saat ini tetap harus bertanggungjawab atas pembangunan tempat komersil tersebut.

Dan lagi-lagi masyarakat yang harus tetap bersabar menghadapi kemacetan lalu lintas tiap kali menintasi kawasan tersebut. Termasuk, para mahasiswa baru yang mungkin dari rumah sudah semangat kuliah,tapi mau tidak mau harus menghadapi kemacetan yang mengular.

01 September 2014
-Ula-






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,