Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir.
Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung
Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada)
2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing
parpol berusaha mempertahankan jagoannya agar
bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar
tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak
pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat
apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D
Lasswell.
Kosongnya kursi wabup nampaknya jadi ‘proyek’ baru bagi sembilan parpol yang tergabung dalam koalisi kerahmatan. Saat itulah, praktik transaksional terjadi. Setiap parpol sengaja memunculkan nama sebagai posisi tawar, sampai terjadinya kesepakatan antara satu partai dengan partai lain yang akhirnya mendukung pada satu nama calon wabup. Alih-alih ingin mengusung kader terbaik, di balik itu bukankah tidak ada makan siang yang gratis?
‘Siapa dapat apa’ menjadi hitungan politik tersendiri bagi petinggi parpol. Ada deal, ada barter, ada transaksi untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa latin, kondisi demikian dikenal dengan istilah quid pro quo. Berlarutnya proses pengisian wabup saat ini bisa jadi karena belum terpenuhinya kepentingan pribadi ataupun golongan masing-masing anggota partai pengusung.
Lain dulu lain sekarang. Kebersamaan koalisi kerahmatan itu kini berubah jadi perang dingin. Pertemuan yang telah berulang kali diagendakan berujung pada kebuntuan (deadlock). Berubahnya regulasi undang-undang pun dijadikan alasan mengulur waktu pengisian wabup. Padahal, kunci dalam pengisian wabup itu ada pada sembilan parpol pengusung. Dan, tentu saja tidak lepas dari keluwesan kepala daerah dalam menjaga pola komunikasi politik baik dengan partai pengusung maupun DPRD.
Lalu, di mana prinsip kebersamaan yang pernah digembar-gemborkan sembilan parpol saat mengusung pasangan RAYA pada pemilu lalu? Mana pula janji untuk tetap berada dalam barisan terdepan, mewujudkan Bumi Tegar Beriman jadi kabupaten termaju? Masih kah mereka ingat kata-kata manis kala dulu berorasi di depan ribuan massa? Jangan-jangan mereka mulai terjangkit penyakit lupa akut.
Penulis menyadari bila kursi wabup merupakan jabatan seksi, yang bisa jadi investasi politik bagi sejumlah parpol pada pemilu 2019, mendatang. Pantas saja jika perebutan kursi itu terjadi cukup alot. Namun, jika dikembalikan pada hakikat politik yang sebenarnya, bukankah seharusnya politik itu bertujuan mulia, yakni mewujudkan kebaikan bersama atau kemaslahatan manusia seperti pemikiran Aristoteles, salah satu filsuf ternama dari Yunani.
Mengutip istilah salah seorang filsuf Jerman Immanuel Kant soal dua watak insan politik, penulis berharap agar para politisi di Bumi Tegar Beriman lebih banyak dianugerahi watak merpati yang penuh dengan kemuliaan dan mengedepankan etika politik ketimbang watak ular yang cenderung licik dan menyerang siapa pun. (*)
Kosongnya kursi wabup nampaknya jadi ‘proyek’ baru bagi sembilan parpol yang tergabung dalam koalisi kerahmatan. Saat itulah, praktik transaksional terjadi. Setiap parpol sengaja memunculkan nama sebagai posisi tawar, sampai terjadinya kesepakatan antara satu partai dengan partai lain yang akhirnya mendukung pada satu nama calon wabup. Alih-alih ingin mengusung kader terbaik, di balik itu bukankah tidak ada makan siang yang gratis?
‘Siapa dapat apa’ menjadi hitungan politik tersendiri bagi petinggi parpol. Ada deal, ada barter, ada transaksi untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa latin, kondisi demikian dikenal dengan istilah quid pro quo. Berlarutnya proses pengisian wabup saat ini bisa jadi karena belum terpenuhinya kepentingan pribadi ataupun golongan masing-masing anggota partai pengusung.
Lain dulu lain sekarang. Kebersamaan koalisi kerahmatan itu kini berubah jadi perang dingin. Pertemuan yang telah berulang kali diagendakan berujung pada kebuntuan (deadlock). Berubahnya regulasi undang-undang pun dijadikan alasan mengulur waktu pengisian wabup. Padahal, kunci dalam pengisian wabup itu ada pada sembilan parpol pengusung. Dan, tentu saja tidak lepas dari keluwesan kepala daerah dalam menjaga pola komunikasi politik baik dengan partai pengusung maupun DPRD.
Lalu, di mana prinsip kebersamaan yang pernah digembar-gemborkan sembilan parpol saat mengusung pasangan RAYA pada pemilu lalu? Mana pula janji untuk tetap berada dalam barisan terdepan, mewujudkan Bumi Tegar Beriman jadi kabupaten termaju? Masih kah mereka ingat kata-kata manis kala dulu berorasi di depan ribuan massa? Jangan-jangan mereka mulai terjangkit penyakit lupa akut.
Penulis menyadari bila kursi wabup merupakan jabatan seksi, yang bisa jadi investasi politik bagi sejumlah parpol pada pemilu 2019, mendatang. Pantas saja jika perebutan kursi itu terjadi cukup alot. Namun, jika dikembalikan pada hakikat politik yang sebenarnya, bukankah seharusnya politik itu bertujuan mulia, yakni mewujudkan kebaikan bersama atau kemaslahatan manusia seperti pemikiran Aristoteles, salah satu filsuf ternama dari Yunani.
Mengutip istilah salah seorang filsuf Jerman Immanuel Kant soal dua watak insan politik, penulis berharap agar para politisi di Bumi Tegar Beriman lebih banyak dianugerahi watak merpati yang penuh dengan kemuliaan dan mengedepankan etika politik ketimbang watak ular yang cenderung licik dan menyerang siapa pun. (*)
Komentar
Posting Komentar