Langsung ke konten utama

Rio... Tolong Jemput Aku


Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya.

Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan.

Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano. Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu.

Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu.

Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai motor bebek tuanya. Tapi akhirnya Rena memilih pulang sendiri. Kebetulan tak lama panasnya sudah mereda. Sementara, teman-temannya di kantor hampir semua acuh alias cuek.

Bahkan saat hendak pulang,  ada rekan yang menimpalinya untuk segera mencari jodoh.

"Makanya cari pacar, biar ada yang jemput,"ujar lelaki berkacamata itu sambil tangannya sibuk dengan keyboard.

Rena hanya membalasnya dengan senyum, sambil beranjak menuju parkiran. Dalam hatinya ia pun bergumam.

"Aku tidak boleh bergantung dan ketergantungan pada orang lain. Sekalipun dengan keluarga atau calon suami sendiri,"ucapnya sembari menarik nafas panjang.

Malam itu, Rena bisa saja mengabari orang rumah untuk meminta jemput. Tapi dia ingat kalau ibunya pun sedang sakit. Karena tak ingin membuat ibu berpikir macam-macam, ia pun menahan untuk memberitahukan keluarga.

Begitu juga dengan Rio. Walaupun di malam itu mereka saling berkomunikasi, tapi Rena tak memberitahu kondisi yang sebenarnya. Entahlah, mungkin Rio akan marah kalau tahu malam itu Rena sakit. Ia pun akhirnya bergegas mengendarai motornya.

Di perjalanan, sesekali ia memperlambat laju motornya untuk menyela rasa dingin yang menembus jaket dan kulitnya. Dan alhamdulillah, Rena pun sampai di rumah dengan selamat.

*
DAY 2

Begitu tiba di rumah ia pun langsung membersihkan tubuhnya sebelum beranjak ke kasur. Malam itu, ayahnya masih menemani ibu di kamar. Keduanya masih melek. Ia pun lega, karena ia tidak jadi memberitahu ayahnya untuk minta jemput.

Tapi ibu sudah sadar kalau kondisi Rena sudah tidak fit. Di malam itu juga ibu mengambilkan obat untuk Rena yang kebetulan ada di samping tempat tidurnya.

"Kamu makan dulu terus minum obatnya. Kalau semua sakit bisa repot semuanya,"kata ibu yang juga kondisinya tak sehat.

Rena pun menuruti perintah ibunya, sebelum akhirnya tidur pulas di pulau kapuk.  Dan benar saja, esok paginya tubuhnya terasa lebih baik. Seharian ia istirahat sambil menutup tubuhnya dengan jaket dan selimut. Tapi, saat menjelang siang tubuhnya lagi-lagi demam, tapi kali ini tak separah saat ia di kantor. ia pun hanya tiduran di kamar dan melupakan pekerjaan sambilannya hingga sore menjelang.

Mulanya ia tak ingin masuk, tapi setelah badannya terasa lebih enak Rena tetap berangkat ke kantor seperti hari hari biasa. Hari kedua, tak ada tanda-tanda seperti malam sebelumnya. Tubuhnya bisa dibilang normal. Ia pun menganggap kalau sakitnya tadi malam karena pengaruh 'tamu bulanan'.

Di hari itu, Rena pun sempat bertemu dengan Rio. Ya, mungkin itu yang membuat harinya terasa jadi lebih baik. hehehe

DAY 3

Beda cerita di hari ketiga. Malam itu juga penuh drama. Kali ini diperparah dengan pekerjaan yang belum rampung. Akhirnya coba ia kebut sambil menahan berat di kepala, dan demam menggigil.

"Ya allah, kenapa lagi ini" gumam Rena dalam hati yang saat itu sudah ingin berada di rumah.

Tubuh Rena kali terasa lebih lemas. Dia pun sempat mengirim pesan ke ayahnya kalau tubuhnya menggigil. Tapi rupanya tidak direspon. Niatnya meminta jemput akhirnya batal. Rena sengaja tak memberitahu Rio, karena keesokan harinya ia sudah janjian dengan lelaki itu untuk bertemu. Ia khawatir Rio juga ikut tumbang karena harus bolak-balik mengantarnya ke sana kemari.

Singkat cerita malam itu Rena pulang sendiri. Dan setiba di rumah, kamar bapak ibunya pun sudah terkunci. Terpaksa ia tak minum obat, hingga di sekitar pukul 04:30 wib, ibunya tiba-tiba ke kamar mengecek kamar Rena.

Maklum, subuh itu ibu baru membaca pesan yang Rena  kirim. Badan Rena sudah menggigil sambil dikemuli selimut tebal. Akhirnya ibu menyuruh Rena untuk makan dan langsung minum obat.

Benar saja, panas tubuhnya kembali turun. Walaupun masih lemas, Rena tetap bertemu dengan Rio pagi itu untuk mengurus SIM nya yang hilang. Hampir seharian ia berada di kantor polisi sampai akhirnya pesan dari kantor muncul.

"Hari ini rapat jam 1, terimakasih" begitu bunyi pesan itu.

Sambil menarik nafas, Rena pun akhirnya terpaksa batal pulang ke rumah. Padahal, punggungnya sudah mengeluarkan keringat dingin. Itu petanda kalau ia sudah ingin istirahat. Biasanya kalau sudah begitu, rebahan sambil menyelimuti diri jadi penawarnya. Tapi tidak dengan siang itu.  Dingin pun perlahan menyusup ke kulitnya dan sesekali Rena hardik dengan menggosok-gosokan tangannya.

Rio sudah meminta Rena untuk istirahat di rumahnya. Tapi Rena malah tidak menuruti. Rena justru asyik dengan ponselnya. Kebetulan ada pekerjaan yang memang harus diselesaikan. Ia pun akhirnya mengikuti rapat di kantor sampai selesai.

Begitu selesai, ia kembali ke meja kerja dan memulai harinya. Tiba-tiba tubuhnya kembali menunjukan tanda-tanda tak sehat. Bahkan kali ini Rena merasa tulangnya seperti ditusuk-tusuk, Kali ini Rena tak bisa lagi menyembunyikan kondisinya.

"Rio.... Tolong Jemput Aku"pinta Rena di ujung telpon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,