Langsung ke konten utama

9 September 2014



Hari ini tepat ulang tahun Harian Metropolitan ke-3, 9 September 2014.  Sampai dengan jam segini, beberapa kru redaksi masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Termasuk saya, yang kedapatan jatah piket.  Di hari yang spesial, Harian Metropolitan juga ingin memberikan suguhan istimewa bagi pembacanya. Jika biasanya harian pagi ini terbit 16 halaman, untuk hari ini Metro hadir 24 halaman.

Dan tentu saja, hasil dan perjuangan cenderung berbanding lurus. Setiap hasil terbaik, selalu dilewati dengan proses yang luar biasa. BUkan perjuangan yang mudah ataupun sekadar asal-asalan.  Sampai dengan pukul 01:00 wib, saya dan beberapa kru redaksi Harian Metropolitan masih di gedung Graha Pena Lantai 2.
Koordinator liputan (pak diki), pimpinan redaksi (Pak Somad) turun langsung memastikan semua berjalan lancar. Semakin malam, suasana makin resah. Para pimpinan itu makin tidak sabar ingin segera selesai.  Tapi tetap saja, meskipun suasanan cukup tegang, selalu ada canda tawa yang mewarnai suasana di ruang redaksi.

Dan saya tidak akan melupakan suasana seperti ini. Suasana yang penuh dengan kebersamaan, kekompakan, dan punya satu keinginan untuk sama-sama maju menjadi yang terbaik. Mungkin inilah yang membedakan koran ini dengan media kebanyakan. Saya bersyukur bisa mengenal orang-orang hebat seperti yang sekarang saya temui.

Tidak pandang dia muda ataupun tua, yang jelas dari mereka semua kita sama-sama belajar.

HAPPY BIRTHDAY Harian Metropolitan, semoga hari jadi ke-tiga tahun ini jadi pemacu untuk terus melangkah 10 kali lebih jauh dan bahkan lebih dari yang orang pikirkan.

Tidak terasa, sudah 1.8 tahun saya bergabung di sini. Di tempat ini, bersama orang-orang pilihan-NYA.

@Graha Pena lantai 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,