Langsung ke konten utama

28 Desember 2014



Ini adalah hari ke-28 aku memegang halaman. Dua halaman koran jadi tanggungjawab ku saat ini. Aku yang mencari berita, aku pula yang mengeditnya. Dan tentu saja, aku yang bertanggungjawab sampai semua tulisan ku jadi satu produk.


Rasanya memang gila. Kata orang bahkan orang tua ku sendiri pekerjaan ini tidaklah manusiawi. Tapi aku sendiri justru menikmati. Rasanya seperti candu. Tiap kali berhasil melewatkan satu hari, selalu tertantang untuk hari berikutnya.

Pusing, lelah, bosan itu pasti. Di saat tertentu aku ingin pergi dan melupakan semua pekerjaan yang sepertinya mengikat. Tapi lagi-lagi, apa yang aku lakukan aku senangi. Aku menyukai pekerjaan ini.

Meski diakui, aku belum cukup pandai menganalisis suatu masalah. Tetapi kantor ku tidak mau tahu. Kantor hanya menuntut agar orang-orang yang bekerja di tempat ini bisa profesional, laiknya perusahaan kelas-kelas menengah ke atas.

 Bagi orang yang tak paham, mungkin aku dianggapnya hanya menghabiskan waktu. Bekerja tanpa ingat waktu, sementara tubuh ini terus dipaksa bekerja, otak juga demikian. Didesak agar terus berpikir. Dan, selalu ada rasa bahagia ketika aku bisa melewatinya.

Aku juga ingin membuktikan teori kesuksesan. Kesuksesan yang diraih dengan kerja keras, tekun dan tetap bersyukur. Aku yakin Allah tidak akan pernah tidur. Dia juga tahu, mana hamba-NYA yang ingin maju dan mana yang tidak.

Walaupun saat ini amunisi ku agak bermasalah. Karena, lagi-lagi kedua orang tua mempermasalahkan jam kerja ku yang tak ingat waktu. Entahlah, aku lebih memilih berkutat dengan pekerjaan. Ketimbang,  kerja santai yang akhirnya membuat ku jadi berpikir macam-macam.

Tak ingin terjebak dalam satu pemikiran yang ujungnya justru membutakan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,