Langsung ke konten utama

Si Kotak Hitam

Sudah lima tahun saya meninggalkan Kota Semarang, tapi rasa dan kenangannya masih begitu melekat. Bagaimana pun juga kota itu banyak memberikan pelajaran berharga untuk kehidupan saya saat ini. Bisa dibilang setiap sudutnya ada kenangan yang sulit dilupakan.

Semarang dan seiisinya  telah membentuk saya menjadi pribadi mandiri, tangguh, dan lebih berempati. Saya tidak bisa membayangkan, jika selepas dari bangku SMA saya tidak hidup merantau. Mungkin, kehidupan saya tidak seperti sekarang. Mungkin, saya masih jadi seorang anak pemalu, minder dan penakut.

Banyak momen berharga yang terjadi selama empat tahun sembilan bulan saya tinggal di Kota Semarang. Dan tentu banyak orang-orang yang sulit saya lupakan, karena mereka bagian dari tokoh berjasa dalam perjalanan hidup saya.

Pengalaman manis, pahit, kecut, asam saat tinggal di kota orang menjadi satu paket cerita dalam buku perjalanan saya.

TINGGAL DI KOSAN BERHANTU

Siang itu, usai melakukan daftar ulang di Kampus Undip Pleburan, saya dan bapak ibu berkeliling mencari tempat kosan. Kebetulan hari itu aku juga sudah membawa barang yang dibutuhkan di kosan. Setelah seharian berputar putar, akhirnya kami menemukan sebuah kosan yang masih menerima penghuni baru.. Letaknya persis di pinggir jalan. Sebuah rumah bercatkan krem dengan pagar hitam. Dilihat dari bentuk bangunannya, rumah itu memang terlihat sudah tua.

Sedikitnya ada lima kamar yang disewakan. Satu kamar ada di bagian depan, dekat pintu keluar samping. Dua kamar ada di ruang tamu dan dua kamar lagi berada di posisi belakang. Kebetulan saya dapat kamar kosong di bagian belakang.

Ukurannya cukup sempit. Satu kamar diisi berdua. Saat itu saya tidak punya pilihan. Niat saya untuk langsung menempati kosan itu terpaksa dibatalkan. Karena waktu perkuliahan masih satu minggu lagi. Saya memilih ikut kembali ke Bogor bersama bapak ibu. Sementara, semua barang barang saya tinggal di kosan tua itu.

Seminggu berlalu, saya kembali ke Semarang. Diantar ibu naik kereta. Kami sampai di Semarang sore hari di Stasiun Tawang. Kami sempat menginap di sebuah losmen dekat stasiun. Lalu paginya baru ke kosan.

Awalnya ibu mau menemani hari pertama saya kuliah. Tapi saat siang menuju sore, tiba tiba ibu dapat kabar kalau kakak pertama saya  kena demam berdarah.Akhirnya sore itu ibu kembali ke Bogor. Tanpa diantar.

"Udah ibu pulang sendiri ya. Kamu nggak usah nganterin ibu,"kata ibu sambil memeluk.

Saat itu rasanya sungguh sedih.  Air mata ini terus berlinang. Berharap ibu kembali dan menemani saya di kos sampai beberapa hari kedepan. Tapi rupanya Allah punya rencana lain. Allah membiarkan saya hidup mendiri dengan memberikan sakit pada kakak sulung, agar ibu lekas kembali ke rumah.

Awal menjalani perkuliahan tentu bukan hal mudah untuk dilalui. Sesekali bayangan tentang kampung halaman di Bogor muncul. Terbesit keinginan untuk kembali pulang. Tapi saya kembali ingat pesan ibu, bahwa apa yang sudha dipilih harus dilakukan dengan sebaik baiknya.

Sampai akhirnya saya coba menikmati menjadi anak kuliahan di kota orang. Menghabiskan waktu di kosan tua, dengan teman teman yang belum cukup akrab. Rasanya sungguh menjenuhkan, sampai akhirnya saya memilih aktif di kampus.

Beberapa organisasi saya ikuti, dari pers mahasiswa sampai organisasi pecinta alam yang kegiatannya lumayan menguras waktu dan energi. Saya pun jadi tak sadar kalau hampir tiga bulan lamanya telah  menempati kosan tua yang punya penghuni dari dunia lain.

*bersambung




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,