Sejak memutuskan resign dari pekerjaan sampingan, saya merasa punya waktu yang cukup untuk melihat dan mengawasi tumbuh kembang Shadid. Awalnya memang terasa kosong, dan bingung mau ngapain dari pagi sampai sore.
Kalau biasanya waktu saya habis untuk kerja dari pagi sampai malam. Kini, saya merasa punya waktu lebih fleksibel dan cukup banyak untuk merawat dan mendidik Shadid. Ya, tiga hari sejak saya memilih keluar dari pekerjaan freelance, saya membulatkan tekad untuk pelan pelan melepas ketergantungan pada popok.
Target saya, di usia dua tahun, Shadid sudah melakukan aktivitas buang air becil dan BAB di kamar mandiri. Dan, alhamdulillah. Empat bulan berjalan hingga usianya 1 tahun 10 bulan, Shadid mulai terbiasa pipis dan pup di kamar mandi. Bahkan dia sudah bisa menyiram pipisnya sendiri.
Walaupun ada saja momen saat dia terpaksa harus ngompol di lantai karena kelupaan atau nggak ketahan. Tapi saya merasa bersyukur. Karena Shadid bisa diajak bekerjasama.
Mungkin terdengar aneh ya, mengajak batita kerjasama. Tapi, saya meyakini itu. Bahkan, sejak di dalam kandungan, saya selalu memintanya agar mau diajak kerjasama.
Saya ingat betul, saat zaman Pilkada serentak dan Pilpres. Saya tetap harus menyelesaikan pekerjaan di halaman satu. Suami yang baru pulang kerja jam 00:00 wib pun mau nggak mau menunggu saya sampai selesai. Pukul 03:00 wib. Nyaris subuh untuk menyelesaikan semua halaman.
Buat saya itu pengalaman luar biasa. Saat itu, saya terus membisiki bayi yang ada dalam kandungan agar membantu saya menuntaskannya. "Sayang, bantu ibu ya. Hari ini ibu harus selesaikan halaman. Sabar ya.., anteng ya di perut"
Kata kata itu saya ucapkan sambil mengelus perut. Dan, alhamdulillah. Semua berjalan baik baik saja dan terkendali.
Komunikasi. Saya meyakini bahwa kata itu menjadi kunci dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Termasuk, dalam pengasuhan. Saya selalu mengajak Shadid berkomunikasi. mencurahkan apa yang saya rasakan, saya mau dan saya butuhkan.
Buat orang lain mungkin terdengarnya tidak masuk akal. Tapi, saya percaya bahwa anak juga mengerti kalau kita sebagai orang tua aktif memberitahu.
Contoh:
Saat mainan pabalatak. Saya selalu bilang. Shadid, ibu capek lho beresin mainan bolak balik. Shadid tolong bantu ya. Shadid masukin ini, ibu beresin ini.
itu adalah kalimat yang biasanya saya sounding ke Shadid untuk merangsangnya mau terlibat. Anak-anak butuh stimulus dan itu harus diutarakan.
Tapi, masih ada anggapan di lingkungan yang memposisikan anak tidak mengerti meski sudah diberitahu. Buat saya pribadi memberi stimulua kepada anak tidak cukup hanya sejam dua jam atau dalam hitungan hari, bulan.
Kalau kata ibu saya, minimal sampai anakmu kelas empat SD kamu gak boleh absen buat ngoceh. Ngoceh di sini bukan berarti marah marah gak jelas. Tetapi, sebagai orang tua tentu aya dan ibu tidak boleh berhenti mengajari apa yang baik dan tidak baik dilakukan sang buah hati.
Prosesnya panjang. Mengajari anak anak juga secara gak langsubg ikut membiasakan orang tua konsisten dengan nasihat yang diberikan.
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar