Langsung ke konten utama

“SEPENGGAL KISAH TENTANG KITA”


“SEPENGGAL KISAH TENTANG KITA”

Pernah ada cerita diantara kita, cerita antara aku, kamu, dia dan mereka. ruangan pojok itu adalah saksi bisu bahwa kita pernah bersama membangun sebuah komitmen. Berawal dari ketidakpuasan dengan rutinitas yang dijalani, akhirnya kita bersama-sama melangkah, mencoba untuk keluar dari zona nyaman.  Hingga harapan pun menjadi kenyataan. Sebuah keluarga baru terbentuk dengan penuh perjuangan. Tak jarang kerikil dan jalan berliku mewarnai proses kelahiran keluarga baru. Tepat di bulan Ramadhan sang pandawa lima berjuang. 

Menyisakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bisa membentuk dan menghidupkan wadah kreativitas. Menyalurkan keinginan terpendam, mewujudkan impian dan idealisme sang jurnalis kampus. Panas terik, sengatan matahari yang cukup membuat rasa dahaga muncul, masih teringat dan terekam jelas dalam kotak memori ku. Satu set kamera VX dengan tripod besarnya kami (aku dan veny) jinjing dengan menaiki bus umum yang biasa muncul paling cepat setengah jam sekali.  Kami turun naik angkot, berpindah dari  satu tempat ke tempat lainnya demi sebuah karya yang kami sebut berita.  

Saat itu kami tidak peduli dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk ongkos pulang pergi pleburan-tembalang, tidak peduli dengan terik matahari yang menyengat di saat-saat puasa.  Yang ada di benak kami hanya liputan dan liputan. Meskipun dalam hati saat itu berontak, namun semua kembali pada komitmen awal dan rasa tanggung jawab. Hingga akhirnya semua rasa itu pun hilang dengan sendirinya.


Suka duka pastinya menjadi bagian dari pelangi kehidupan yang tak mungkin bisa dihindari. Sentilan-sentilan yang tak jarang menyengat kuping, kebimbangan di persimpangan jalan menjadi satu warna yang memberikan sebuah keindahan. 20 September 2010 menjadi moment penting dan benar-benar berharga. Saat itu adalah pertama kalinya karya kita dimuat di salah satu stasiun televisi lokal Semarang.  Sebuah wadah kreativitas bernama Prokampus lahir ke dunia pertelevisian, meskipun masih dalam lingkup yang kecil.  

Ada rasa bahagia, bangga, terharu dan sekaligus miris saat itu. Bahagia, bangga dan terharu karena perjuangan kita tidak sia-sia. Sebuah wadah yang awalnya tidak ada menjadi ada dan hal itu nyata. Sebuah usaha yang benar-benar kita mulai dari nol. Mimpi itu kini menjadi kenyataan. Namun demikian,  saat itu ada juga rasa miris karena karya tersebut dikatakan masih jauh dari sempurna jika dibandingkan dengan program lainnya yang ada di tv tersebut. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan keinginan kita untuk bisa terus menghasilkan liputan terbaik.

Masih lekat sekali dalam ingatan, ketika pertama kali taping presenter. Saat itu kami memilih sampoerna corner UNDIP sebagai tempat untuk take picture. Diah dan gilang sudah mempersiapkan presenter dan lokasinya dengan baik. Sedangkan aku dan veny yang mebawa perlengkapan taping, mulai dari kamera, kaset, clip on, sampai tripod yang lumayan bikin lengan menjadi pegel.  Saat itu proses pemakaian kamera dan tripod masih dibilang cukup merepotkan. Karena kamera yang digunakan statusnya masih milik jurusan ilmu komunikasi, sehingga untuk pemakiannya kami harus mengikuti proses peminjaman yang seringkali membuat kami harus mengelus dada. 

Sekitar pukul tujuh pagi aku dan veny berangkat bersama menuju kampus pleburan. Saat itu, kami saling membagi tugas. Veny meminjam kamera dan aku menyiapkan kaset dan clip on-nya di ruang redaksi. Setelah semua siap, salah satu senior kami pun datang. Sebut saja mas imam. Dia termasuk senior berita kampus yang bisa dibilang care dengan berdirinya prokampus setelah mas Sina. Sejak awal ide bekerjasama dengan TV lain dicetuskan, dia memang banyak memberikan masukan kepada kami.  Dan akhirnya mas Imam pun ikut dalam taping perdana prokampus. Aku, veny, dan dirinya pun segera melangkahkan kaki menuju tembalang. Tidak ada setengah jam, bis mangkang-bukit kencana pun datang dan kami pun naik sambil membawa dua peralatan yang lumayan berat, yakni tripod dan kamera VX.


 Setengah jam perjalanan menuju tembalang, akhirnya sampai pula di Toko Tembalang atau biasa dikenal dengan sebutan Totem yaitu,  tempat di mana kami harus mengganti angkutan daihatsu untuk menuju ke dalam lingkungan kampus. Kebetulan sampoerna CORNER berada di dalam lingkungan kampus, yakni di Widyauraya, perpustakaan pusat milik Universitas Diponegoro.  Rencana awal kami untuk naik angkot pun harus ditunda, karena kami belum membawa perbekalan makanan dan minuman untuk taping.
 

Akhirnya kami jalan beberapa meter menuju indomaret sambil menjinjing peralatan tempur hari ini.  usai membeli makanan dan minuman akhirnya niat untuk naik angkot benar-benar harus kandas di tengah jalan. Kenapa? sang senior justru mengajak berjalan kaki menuju sampoerna Corner. (tuing-tuing). Perasaan dalam hati sebenernya kami keberatan, karena membawa dua perlengkapan di jalan datar itu sudah cukup membuat nafas kami terengah-engah. Apalagi jika harus membawanya lagi dengan kondisi jalan yang menanjak.  Dan bodohnya, saat itu aku dan veny menuruti apa katanya. Akhirnya kami bertiga jalan dari Totem sampai sampoerna corner sambil menjinjing tripod dan kamera. Sedangkan dia tanpa berdosa berjalan membiarkan kami para permepuan membawa dua peralatan tersebut (sungguh perempuan perkasa bukan? Hahaha)
Nafas kami pun mulai terengah-engah. Bedak kami luntur, dandanan kami yang tadi pagi rapi sepertinya tersapu oleh keringat.  Sesampainya di sampoerna corner wajah kami sudah tidak beraturan. Keringat yang mengalir tentu saja membuat hari itu terasa capek dan lelah. Belum lagi setibanya di sampoerna corner kami harus memikirkan konsep pengambilan gambar. Lengkaplah sudah hari-hari kita saat itu. Sekitar jam satu siang akhirnya kita selesai taping dan dilanjutkan dengan makan siang. Whuaaa…., rasanya sunguh ploong sekali. 

Namun perjuangan tidak hanya sampai di situ kawan. Karena selesai taping, kami masih harus mengcapture dan mengedit semua liputan termasuk hasil taping tadi. Di awal-awal beridirinya prokampus, alat menjadi salah satu kendala dalam liputan kami. Kamera yang tidak bisa digunakan setiap waktu, kaset yang tidak jarang rusak sering kali terjadi dan menjadi bahan evaluasi tiap minggu. Meskpiun demikian, kami selalu mendapat klien yang bersedia memberikan sponsor untuk tempat taping. Di bawah manajemen diah, segala hal yang berhubungan dengan markom berjalan lancar.selalu ada dua sisi yang berbeda dan dari perbedaan itulah kita belajar untuk bisa saling melengkapi. itulah sekelumit kisah diantara kita. semoga kelak prokampus benar-benar bisa tetap berdiri dan eksis.

Tak ada gading yang tak retak. Tak ada kesempurnaan dalam setiap kesempatan. Dan kesempatan untuk menjadi bagian dari pelopor berdirinya Prokampus merupakan pengalaman yang sangat berharga dan amat sangat berkesan. Lima pejuang adalah orang-orang yang benar-benar terjun langsung di bidangnya. Bersama-sama menyempatkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membahas merancang dan melakukan apa yang menjadi mimpi bersama. 

Mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Sesuatu yang awalnya terasa berat namun perlahan bisa terkendali di bawah pimpinan Veny Sinuraya. Hingga akhirnya Prokampus benar-benar ada dan berkembang dengan dukungan berbagai pihak, muali dari dekan Fisip 2010, Drs. Warsito, SU, mas Tan, mba Nurul, mas hardjo, mba septi, pak baheng, pak Derek (Denny Reksa), dan beberapa crew  yang ikut bersama membangun prokampus sebagai generasi pertama, Veny, Diyah, Sindi, Gilang, Akbar, Kiki, Bebet, Flo, Ita, dan Uki.
-Redaksi-
February 2011



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,