Ajari Warga, Jadi Kegiatan Ekstrakulikuler
Ramah dan hangat menjadi kesan pertama saat Metropolitan menemui salah satu pendiri kesenian barong Siam Si, Wihardja Kandajaya. Kesenian sakral yang biasa muncul dalam perayaan besar masyarakat Tionghoa tersebut terus dipertahankan Wihardja sejak tahun 2000. Dengan mengajak warga setempat yang berasal dari Jalan Roda dan Jalan Suryakencana, akhirnya terbentuklah Kesenian Siam Si Roda Kencana yang terus diwariskan melalui kegiatan ekstrakulikuler wajib di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Widya Ananda.
Bertempat di Jalan Suryakencana, No.121, Kota Bogor, Wihardja melatih peserta didiknya dengan kesenian barong Siam Si yang bentuknya menyerupai seekor bangkong atau kodok dengan badan seperti singa. Kesenian Siam Si telah berkembang sejak 1940. Pada waktu itu, Wihardja aktif di kegiatan Pandu Tionghoa Indonesia. Kesenian Siam Si menjadi begitu populer pada masa itu, bahkan menjadi salah satu kegiatan menonjol diantara kegiatan Pandu lainnya.
Akan tetapi, masa-masa itu kian meredup saat kepengurusan Soeharto sebagai presiden. Diskrimasi etnis yang terjadi pada 1960-an membuat kesenian barong Siam Si terpaksa vakum.“ Dulu itu kami tidak boleh berkembang, karena diskrimasinya masih kuat sekali. Akhirnya kesenian itu vakum. Sampai di era Gus Dur kami diakui kembali.”kenang Wihardja
Diakuinya keberadaan etnis Tionghoa oleh Gus Dur memberi api semangat kepada Wihardja untuk melahirkan kembali kesenian Siam Si di Kota Bogor. Ia mengaku awalnya mengajak warga setempat untuk mengembangkan kesenian tersebut. Sampai akhirnya, ayah tiga anak ini tercetus ide menurunkan warisan budaya tersebut kepada para siswanya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Widya Ananda.
Sekolah tersebut didirikan Wihardja pada 1995 dan ia pun mulai menjadikan kesenian Siam Si sebagai salah satu kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya. “Siapa lagi yang mau melakoni kalau bukan generasi muda. Makanya saya jadikan ini sebagai kegiatan ekstrakulikuler di SMK Hampir 90 persen anak-anak ikut kesenian Siam Si. Setiap minggu biasanya kami berlatih gerakannya,” ujar Wihardja.
Wihardja menuturkan, kesenian tersebut juga dibuka untuk umum, mulai dari usia Taman Kanak-kanak hingga dewasa. ia menegaskan, bila kesenian Siam Si merupakan kesenian sakral yang harus dijiwai oleh para pemain. “Gerakan di Siam Si mengarah ke akrobatik jadi siapa saja bisa ikut. Namun, kesenian ini tidak boleh dianggap main-main, dan saya sangat disiplin kepada semua pemain,” tegasnya.
Wihardja mengungkapkan, kesenian Siam Si merupakan kesenian sakral yang muncul dalam acara tertentu, seperti perayaan ulang tahun dewa- dewi, dan perayaan capgomeh. Oleh karenanya, barong Siam Si miliknya pun selalu ia sembahyangi setiap hari Sementara saat latihan, biasanya para murid hanya mengenakan seragam dengan balutan baju hitam.
Kesenian barong Siam Si biasanya diikuti musik tambur, simbal dan kemongan sebagai pengiring. Konon menurut cerita, Barong Siam Si merupakan salah satu hewan jelmaan khayangan yang dipercaya menolong para dewa-dewi. Oleh karena itu, kemunculan kesenian ini pun tidak sembarangan. “Biasanya kalau ada acara ulang tahun dewa dari vihara lain terus minta dikawal, baru kami pentas. Tapi sekali lagi bahwa kesenian ini bukan untuk main-main, tapi bagian dari ritual dalam acara tertentu” kata Wihardja kepada Metropolitan.
Wihardja berharap agar kesenian ini bisa terus dilestarikan dan berkembang hingga ke generasi muda.
Komentar
Posting Komentar