Langsung ke konten utama

"Aku tak Bisa Menulis"

"Aku enggak bisa nulis mas,"begitu kata ku pada seorang senior di sebuah Lembaga Pers Mahasiswa dulu.

"Lha piye to, masuk anak pers ya harus belajar nulis.Nulis ki emang kudu mikir, Ojo mbok padake mbe munggah gunung,"cetus lelaki berkacamata dari balik jendela.

Aku hanya terdiam. Sambil selonjoran di sekretariat, aku masih berpikir keras untuk menulis sebuah cerita pendek (cerpen). Wajahku sudah terliat kepusingan, karena deadline buletin sebentar lagi tiba. Sedangkan, jatahku menulis cerpen belum juga selesai.

Hingga lagi-lagi seorang sneior perempuan datang dan menegur.
"Kami kenapa kok puisng gitu,"tanya wanita berhijab itu sambil menatap wajahku penuh heran.

Masih tengkurap dengan laptop di hadapan, aku bilang sedang kepusingan menulis cerpen.
Spontan, dia kembali menyelutuk

"Ya ampun, tak pikir pusing ngopo. Jebule mung soal kacang goreng (sebutan cerpen di buletin,red). Kayak gitu ngapain kamu bikin pusing, itu tugas paling mudah kali di antara semua tulisan di buletin,"ujarnya dengan nada sedikit mengejek.

"Iya, tapi aku dari tadi gak bisa nulis. Bingung mau nulis apa,"kata ku kembali menegaskan.

Sementara itu, aku juga harus menyiapkan diri untuk latihan fisik dan segala embel-embelnya untuk lolos jadi anggota mapala. Waktu itu seminggu lagi aku akan berangkat ke gunung mengikuti seleksi beberapa hari.  Waktunya bersamaan dengan deadline cerpenku.

Aku berpikir keras, mencari inspirasi. Sampai akhirnya saat di ruang perpustakaan seorang penjaga membuatku kesal. Wajah juteknya seringkali memarahi mahasiswa yang mau pinjam buku. Bahkan, kalau sejam menjelang tutup, dia sudah mulai menutup akses mahasiswa yang ingin sekedar duduk santai di ruang perpus.

"Perpusnya mau tutup mba, ke sini jam satu saja,"ujarnya sambil asik menghisap asap rokok.

Spontan aku merasa jengkel dengan ulahnya, hingga tercetuslah ide cerpen untuk menyindir kelakuan penjaga perpus itu lewar cerita pendek.

Tuhan memang selalu tahu yang dibutuhkan hambanya, dan caranya membantu selalu mengejutkan. Dari orang yang membuat kesal itulah aku mendapatkan ide.Hingga bisa menumpahkan kekesalan lewat deretan kata-kata.

Tapi rupanya masalah belum selesai. Minimal cerpen harus ditulis sebanyak tiga lembar dengan ketentuan jenis huruf dan ukurannya.Sebelum berangkat ke gunung aku baru mendapatkan dua lembar. Alarm tagihan artikel pun sudah datang dari pimred buletin.

"Cerpennya sudah selesai? seminggu lagi ya maksimal,"kata Pimred mengingatkan.

"Iya mba, nanti aku selesaikan. Sepulang dari gunung, aku setor,"jawabku yakin.

Tiap malam, sehabis ikut kegiatan seleksi calon anggota mapala, aku menyicil cerpen itu. Dengan mata terkantuk-kantuk aku coba membuatnya. Tapi, sampai aku pulan dari gunung, cerpen itu belum juga bertambah. Kurang satu lembar lagi.

Malam sehabis dari gunung, aku masih berusaha membuat cerpen itu. Meski saat itu tubuh terasa lelah seharian mengikuti kegiatan alam semi militer ala Mapala. Aku sudah janji akan menyetornya sepulang dari gunung.

Paginya, tak ada pilihan selain memenuhi janji itu. Aku datang sambil menenteng laptop jumbo. Beberapa rekan sudah berkumpul di ruang redaksi, karena hari itu semua naskah harus masuk proses pengeditan.

Akhirnya dengan berat hati aku bilang, kalau cerpenku hanya dapat 2,5 lembar. Masih jauh dari syarat. Beruntung, ada Ana, teman, sahabat bahkan sekarang sudah seperti saudara sendiri. Dia yang membantu aku membuat akhir cerita cerpen hingga hari itu aku betul betul bisa sempurna menepati janji.

Dalam hati, aku tak pernah ingin jadi penulis. Aku membenci tulisan, Bahkan saat membuat skripsi pun dosen pembimbing  menyebut kalau tulisan ku berantakan.
"Tulisan mu jelek sekali,"ujar dia yang spontan hingga akhirnya mengucap maaf karena melihat mata ku berkaca-kaca.

Tapi siapa yang menduga takdir Tuhan? Ketika kini setiap hari aku harus dicekoki tulisan-tulisan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,