Geng Pecel. Tidak pernah habis untuk menceritakan soal geng ini. Hanya terdiri dari empat wanita dari latar berbeda, Tapi buat saya mereka turut memberikan pelajaran bagaimana sesama manusia saling berhubungan baik, Meski harus beda keyakinan, pemikiran, sifat dan karakter.
Tahun ini genap 10 tahun kami menjalin hubungan pertemanan. Ah, rasanya lebih dari kata teman. Karena, kami sudah dekat seperti saudara.
Dimulai dari Bebet. Mantan Ketua Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Fisip Undip. Dia beragama kristen protestan. Dia juga terbilang orang taat beribadah dan tergolong aktivis gereja. Bahkan, setiap kali kita makan bareng, wanita berambut ikal itu yang paling terakhir untuk melahap makanan di meja. Karena, dia berdoa panjang sekali sambil memjamkan mata.
Berlanjut dengan Veny. Dia juga aktivis gereja. Agamanya Kristen Katholik. Entah berapa kali ia diundang komunitas gereja jadi pembicara. Sejak kuliah dia juga aktif di Pelayanan Rohani Mahasiwa Katholik (PRMK) Fisip Undip sebagai Sekretarisnya. Bahkan, sampai kerja pun, itu masih dilakukannya.
Sementara Kiki, Dia sama seperti saya, beragama islam. Sejak pertama kenal dengannya di bangku kuliah, Kiki sudah berhijab. Walaupun memang masih blentang-blentong. Kadang pakai, kadang enggak. Tapi paling tidak jauh lebih dari saya yang ketika itu belum berjilbab. Kami tidak pernah mempermasalahkan soal kebiasaan itu. Toh, walaupun sekarang saya sudah mengenakan jilbab, pun belum sempurna seperti label akhwat kebanyakan.
Tapi sudahlah. Bagi saya pribadi,berjilbab atau tidak itu menjadi urusan manusia dengan Tuhannya. Jadi, tidak boleh dipaksa, dinyinyir sampai orang itu yang menemukan jawaban, Kenapa dia harus berjilbab.
Dan, 10 tahun hubungan pertemanan ini harus saya akui kalau mereka banyak memberikan saya pelajaran tentang toleransi. Beda tapi Sama. Saat saya dan Kiki puasa, Mereka berdua (Veny dan Bebet,red) sama-sama mendukung. Tidak pernah mereka mengajak untuk membatalkan puasa. Saat hangout dan adzan berkumandang, keduanya pun rela menunggu di luar mushola sebelum mencari tempat makan.
Pun sebaliknya. Ketika ada rencana kumpul dan satu di antaranya sudah ada giat di gereja, maka dengan senang hati pula mempersilahkan mereka memprioritaskan giat itu. Beda tapi sama. Mendukung dalam hal kebaikan.
Walaupun kami berempat dekat, tapi masing-masing pun memiliki sahabat dekat yang memang seagama.
Bebet dengan Ijul, Tere dan Wisnu. Veny dengan Lita, Kiki dengan Winda, Sedangkan saya dengan Abib dan Ana.
Tidak ada pertemuan yang kebetulan, kecuali itu sudah digariskan Tuhan. Tidak ada sesuatu yang sia-sia selama kita memakai akal untuk berpikir, mencari tahu untuk dipetik hikmahnya.
Bogor, Mei 2017
Tahun ini genap 10 tahun kami menjalin hubungan pertemanan. Ah, rasanya lebih dari kata teman. Karena, kami sudah dekat seperti saudara.
Dimulai dari Bebet. Mantan Ketua Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Fisip Undip. Dia beragama kristen protestan. Dia juga terbilang orang taat beribadah dan tergolong aktivis gereja. Bahkan, setiap kali kita makan bareng, wanita berambut ikal itu yang paling terakhir untuk melahap makanan di meja. Karena, dia berdoa panjang sekali sambil memjamkan mata.
Berlanjut dengan Veny. Dia juga aktivis gereja. Agamanya Kristen Katholik. Entah berapa kali ia diundang komunitas gereja jadi pembicara. Sejak kuliah dia juga aktif di Pelayanan Rohani Mahasiwa Katholik (PRMK) Fisip Undip sebagai Sekretarisnya. Bahkan, sampai kerja pun, itu masih dilakukannya.
Sementara Kiki, Dia sama seperti saya, beragama islam. Sejak pertama kenal dengannya di bangku kuliah, Kiki sudah berhijab. Walaupun memang masih blentang-blentong. Kadang pakai, kadang enggak. Tapi paling tidak jauh lebih dari saya yang ketika itu belum berjilbab. Kami tidak pernah mempermasalahkan soal kebiasaan itu. Toh, walaupun sekarang saya sudah mengenakan jilbab, pun belum sempurna seperti label akhwat kebanyakan.
Tapi sudahlah. Bagi saya pribadi,berjilbab atau tidak itu menjadi urusan manusia dengan Tuhannya. Jadi, tidak boleh dipaksa, dinyinyir sampai orang itu yang menemukan jawaban, Kenapa dia harus berjilbab.
Dan, 10 tahun hubungan pertemanan ini harus saya akui kalau mereka banyak memberikan saya pelajaran tentang toleransi. Beda tapi Sama. Saat saya dan Kiki puasa, Mereka berdua (Veny dan Bebet,red) sama-sama mendukung. Tidak pernah mereka mengajak untuk membatalkan puasa. Saat hangout dan adzan berkumandang, keduanya pun rela menunggu di luar mushola sebelum mencari tempat makan.
Pun sebaliknya. Ketika ada rencana kumpul dan satu di antaranya sudah ada giat di gereja, maka dengan senang hati pula mempersilahkan mereka memprioritaskan giat itu. Beda tapi sama. Mendukung dalam hal kebaikan.
"Agama mu agama mu, agama ku agama ku"
Walaupun kami berempat dekat, tapi masing-masing pun memiliki sahabat dekat yang memang seagama.
Bebet dengan Ijul, Tere dan Wisnu. Veny dengan Lita, Kiki dengan Winda, Sedangkan saya dengan Abib dan Ana.
Tidak ada pertemuan yang kebetulan, kecuali itu sudah digariskan Tuhan. Tidak ada sesuatu yang sia-sia selama kita memakai akal untuk berpikir, mencari tahu untuk dipetik hikmahnya.
Bogor, Mei 2017
Komentar
Posting Komentar