Semarang dan Bogor. Dua kota yang turut memberi warna dalam buku cerita saya. Suka dan Cinta. Dua rasa yang mirip tapi punya arti beda.
‘Semarang Aku Suka’. Baru pekan lalu saya akhirnya datang lagi ke kota itu. Kota yang penuh dengan cerita kita. Antara saya, kamu, dia dan mereka. Masih lekat di ingatan saat dulu masih baru baru lepas dari seragam putih abu. Menempati kos tua yang ada persis di depan kampus, hingga mendapatkan pengalaman horor menghuni bangunan angker itu.
Masih juga terekam saat dulu mendaftar anggota pecinta alam karena ajakan teman. Tapi di tengah perjalanan, dia malah mengundurkan diri. Dan, si anak rumah yang pingin banget jadi host petualangan tetap ikuti prosesnya karena bayang-bayang Riani Djangkaru yang tengah top saat itu.
Juga masih terukir jelas, bagaimana cerita pengalaman pertama mendaki gunung yang ternyata beda jauh dengan piknik di alam bebas.
Pulang larut malam sampai pukul 02:00 wib demi meliput konser THE SIGIT sampai-sampai diikuti lelaki misterius. Pun pernah sampai dikejar-kejar anjing ‘gila’ saat blusukan malam hari ke Pantai Marina bersama kru TV kampus. Belum lagi saat harus lembur hingga menginap di ruang pojok kampus, berikut dengan cerita horornya.
Apalagi kalau mengingat saat dulu ruang redaksi pers mahasiswa didatangi sekelompok anak BEM jelang Pemira. Sampai-sampai ada insiden pintu didobrak dan mading dibakar. Semuanya masih tersusun rapi dalam memori dan jadi pelajaran berharga di kemudian hari. ‘Semarang Aku Suka’.
Apa-apa yang sudah dilalui ketika itu rupanya jadi semacam simulasi untuk menghadapi masa kini. Ya, masa kini saya di tanah kelahiran. ‘Bogor Aku Cinta’. Karena, di sinilah orang-orang yang tulus mencintai saya. Bapak, ibu, kakak, adik yang selalu ada dan hadir mengisi hari-hari.
Bogor Aku Cinta. Karena, di Bogor pula saya bekerja, berkarya dan bertemu dengan orang-orang luar biasa. Kelak, itu pun jadi bekal saat saya membangun keluarga.
Bogor, Mei 2017
Komentar
Posting Komentar