Agak miris memang bila melihat profesi yang harus dibungkus dengan kebanggaan berlebih.
Rasa bangga yang seringkali mengabaikan aturan ataupun etika. Parahnya, kalau profesi itu dijadikan tameng golongan tertentu.
Kalau ditelusuri arti profesi, maka kata profesi tidak akan jauh dengan makna profesional dan profesionalitas. Artinya selain memang ahli di bidangnya, profesi juga wajib menjunjung tonggi profesionalitas. Itulah alasannya mengapa setiap profesi selalu disertai dengan kode etik. Ada pasal-pasal yang mengatur bagaimana seorang profesional melaksanakan tugas dan kewajibannya di bidang tertentu.
Kalau apa yang dilakukan menyimpang dari kode itu, maka profesionalitas pun dipertanyakan dari profesi yang melekat.
Sama halnya dengan profesi yang saat ini melekat dalam diri saya. Meski baru setahun, tapi saya berusaha belajar menjadi seorang profesional yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Saya memang tidak hafal dengan isi kode etik. Tapi poin yang selalu saya pegang adalah berita yang saya buat tidak mengandung unsur SARA, tidak berisi fitnah, dan selalu mengedepankan proses check and balance.
Selain itu, di kode etik juga diatur bila saya wajib menghormati setiap narasumber yang enggan memberikan komentarnya atas pemberitaan tertentu. Serta memberi ruang bagi narasumber atau masyarakat menggunakan hak koreksi dan hak jawab.
Saya tidak tahu, mau dibawa kemana arah media di negeri ini. Apakah menuju dunia bisnis yang hanya memikirkan profit. Atau ke arah politis yang akhirnya bisa jadi agen propaganda efektif membentuk opini publik???
Kalau ditelusuri arti profesi, maka kata profesi tidak akan jauh dengan makna profesional dan profesionalitas. Artinya selain memang ahli di bidangnya, profesi juga wajib menjunjung tonggi profesionalitas. Itulah alasannya mengapa setiap profesi selalu disertai dengan kode etik. Ada pasal-pasal yang mengatur bagaimana seorang profesional melaksanakan tugas dan kewajibannya di bidang tertentu.
Kalau apa yang dilakukan menyimpang dari kode itu, maka profesionalitas pun dipertanyakan dari profesi yang melekat.
Sama halnya dengan profesi yang saat ini melekat dalam diri saya. Meski baru setahun, tapi saya berusaha belajar menjadi seorang profesional yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Saya memang tidak hafal dengan isi kode etik. Tapi poin yang selalu saya pegang adalah berita yang saya buat tidak mengandung unsur SARA, tidak berisi fitnah, dan selalu mengedepankan proses check and balance.
Selain itu, di kode etik juga diatur bila saya wajib menghormati setiap narasumber yang enggan memberikan komentarnya atas pemberitaan tertentu. Serta memberi ruang bagi narasumber atau masyarakat menggunakan hak koreksi dan hak jawab.
Bukankan 'pimpinan' (yang entah ada di tingkat mana) lebih menyukai berita sensasional yang mendatangkan untung besar? Meski kenyataannya, di ujung daerah sana, tidak sedikit para pekerja media yang harus terseok-terseok demi bertahan hidup?Persoalannya, seberapa banyak orang-orang yang menggeluti bidang ini mengacu pada kode etik?
Seberapa banyak pemberitaan ataupun tayangan media yang mengedepankan etika jurnalistik?
Saya tidak tahu, mau dibawa kemana arah media di negeri ini. Apakah menuju dunia bisnis yang hanya memikirkan profit. Atau ke arah politis yang akhirnya bisa jadi agen propaganda efektif membentuk opini publik???
Komentar
Posting Komentar