Pikiran ku menerawang, kembali ke masa silam. Teringat saat aku masih duduk di bangku kuliah. Berkegiatan di beberapa organisasi yang tidak lepas dari dunia tulis menulis Semua aku jalani sedari awal mengenyam status sebagai mahasiswa. Aku tidak pernah membayangkan bisa masuk di keluarga besar pers mahasiswa Fisip Undip. Saat itu, aku melihat sungguh keren para senior ku yang ada di sana. Pandai sekali merangkai kata-kata hingga lembaran kertas dihabisi.
Sementara aku, diminta menulis cerpen sebanyak tiga lembar lembar saja butuh waktu berminggu-minggu untuk menyelesaikannya. Lucu, sangat lucu. Bahkan aku sempat mneyerah untuk menulisnya. Beruntung, aku memiliki partner yang menyenangkan dan pengertian. Ana. Dia yang membantu ku untuk menyelesaikan penggalan cerpen yang masih kurang.
Foto narsis di wisma brayan bareng Ana (kerudung cokelat) |
Itulah hakikat teman yang sebenarnya. Tidak pernah ragu untuk menegur, saat temannya melakukan kesalahan. Dan buat ku hal itu sah-sah saja. Aku lebih senang dengan orang-orang seperti itu. Menyelesaikan masalah langsung dengan orang yang bersangkutan.
Aku jadi teringat, saat diminta menulis berita di rubrik kolom khusus. Bahan wawancara sudah ditangan, tapi saat itu aku kesulitan untuk menulisnya. Tidak tahu harus dimulai dari mana. Sampai akhirnya, senior ku Mas Sina tiba-tiba muncul dari balik jendela OPINI. Dengan nada datar dan wajah tak berdosa, dia pun menyeletuk " Nek munggah gunung koe rak tau mikir, tapi nek gawe berita koe kudu mikir," celetuknya.
Ini nih, tampang senior (Mas Sina-red) yang kalau ngomong jleb buanget. Tapi baek |
Selama ini, bila ada kegiatan mendaki aku memang tidak pernah berpikir. Hanya mengandalkan orang yang ada di depan ku. Mengikutinya, meski harus nyasar. Pepi. Adalah orang yang aku percaya saat masih menjalani proses penerimaan masa bakti. Bahkan ketika ada sesi membaca peta dan kompas aku tidak pernah melakukannya seperti anggota lainnya.
Bukan karena aku tidak mau membantu, tapi karena aku tidak tertarik.. Aku tidak suka bermain dengan angka yang sering memusingkan. Perjalanan mendaki bukan hal enteng. Proses berjalannya sudah memakan energi, kalau ditambah harus berpikir mencari titik koordinat dan sejenisnya, tentu aku harus memutar otak ku berlebih. Akhirnya, aku hanya membantu menyiapkan kebutuhan anggota mulai dari peralatan orientering dan makan siang.
Ini yang namanya Pepi, lelaki berjenggot gondrong |
Ketika tulisan ku harus beradu dengan pemilik modal dan terpaksa mengalah, rasa capeknya begitu terasa. Tapi inilah media. yang selalu di lingkari kepentingan ekonomi dan politik. Singkat kata, aku ingin mneyampaikan rasa terimakasih ku kepada guru-guru kehidupan yang dengan leluasa memberikan pelajaran berharga.
Dan aku percaya, setiap orang yang aku temui adalah anugerah sang pencipta kepada hamba-NYA untuk selalu memperbaiki diri.
Ditulis Bogor, 4 Agustus 2013
@Graha Pena,
Komentar
Posting Komentar