Langsung ke konten utama

Flash-Back :)



Pikiran ku menerawang, kembali ke masa silam. Teringat saat aku masih duduk di bangku kuliah. Berkegiatan di beberapa organisasi yang tidak lepas dari dunia tulis menulis Semua aku jalani sedari awal mengenyam status sebagai mahasiswa. Aku tidak pernah membayangkan bisa masuk di keluarga besar pers mahasiswa Fisip Undip.  Saat itu, aku melihat sungguh keren para senior ku yang ada di sana. Pandai sekali merangkai kata-kata hingga lembaran kertas dihabisi.

Sementara aku, diminta menulis cerpen sebanyak tiga lembar lembar saja butuh waktu berminggu-minggu untuk menyelesaikannya. Lucu, sangat lucu. Bahkan aku sempat mneyerah untuk menulisnya. Beruntung, aku memiliki partner yang menyenangkan dan pengertian. Ana.  Dia yang membantu ku untuk menyelesaikan penggalan cerpen yang masih kurang. 


Foto narsis di wisma brayan bareng Ana (kerudung cokelat)
Di mata senior ku yang lain, cerpen itu adalah tulisan paling mudah diantara semua tulisan. Tapi buat ku, hal itu seperti mimpi buruk yang membuat tidur ku tak pernah nyenyak. Dan, aku pun melaluinya meski harus membuat beberapa rekan ku harus bersusah payah bahkan rela melapangkan dada. Gendis. Dia adalah pimpinan buletin saat aku bergabung di Opini. Dan gara-gara ulah ku, penerbitan buletin seringkali harus kejar-kejaran dengan waktu. Kami menyebutnya deadline. Bahkan, dia pernah langsung menegur ku gara-gara kinerja ku yang semaunya di Opini. Ketika aku tidak becus membagi waktu antara OPINI dan organisasi lain ku di bidang petualangan.

Itulah hakikat teman yang sebenarnya. Tidak pernah ragu untuk menegur, saat temannya melakukan kesalahan. Dan buat ku hal itu sah-sah saja. Aku lebih senang dengan orang-orang seperti itu. Menyelesaikan masalah langsung dengan orang yang bersangkutan.

Aku jadi teringat, saat diminta menulis berita di rubrik kolom khusus. Bahan wawancara sudah ditangan, tapi saat itu aku kesulitan untuk menulisnya. Tidak tahu harus dimulai dari mana. Sampai akhirnya, senior ku Mas Sina tiba-tiba muncul dari balik jendela OPINI. Dengan nada datar dan wajah tak berdosa, dia pun menyeletuk " Nek munggah gunung koe rak tau mikir, tapi nek gawe berita koe kudu mikir," celetuknya. 

 
Ini nih, tampang senior (Mas Sina-red) yang kalau ngomong jleb buanget. Tapi baek
Saat itu, aku hanya menaggapi setengah-setengah, tapi setelah aku sampai di kos kata-kata itu terpikir kembali. Dan ternyata sindirannya dalem juga.

Selama ini, bila ada kegiatan mendaki aku memang tidak pernah berpikir. Hanya mengandalkan orang yang ada di depan ku. Mengikutinya, meski harus nyasar. Pepi.  Adalah orang yang aku percaya saat masih menjalani proses penerimaan masa bakti. Bahkan ketika ada sesi membaca peta dan kompas aku tidak pernah melakukannya seperti anggota lainnya.


Bukan karena aku tidak mau membantu, tapi karena aku tidak tertarik.. Aku tidak suka bermain dengan angka yang sering memusingkan. Perjalanan mendaki bukan hal enteng. Proses berjalannya sudah memakan energi, kalau ditambah harus berpikir mencari titik koordinat dan sejenisnya, tentu aku harus memutar otak ku berlebih. Akhirnya, aku hanya membantu menyiapkan kebutuhan anggota mulai dari peralatan orientering dan makan siang. 

Ini yang namanya Pepi, lelaki berjenggot gondrong
Tanpa disadari, pengalaman itu kini menjadi modal ku menjalani hari-hari sebagai jurnalis. Dulu aku pernah bilang, bahwa aku tidak mau bekerja di media cetak. Bahasa koran terlalu banyak, aku tidak suka. AKu suka berkariri di televisi, bermain dengan gambar dan naskah yang tidak terlalu panjang. Tapi akhirnya, Allah berkata lain. Apa yang aku hindari, justru harus aku jalani. Dan aku menikmatinya, apalagi saat tulisan yang aku buat dimuat semua. Rasa capek , lelah pun terbayar. Dan begitupun sebaliknya.

Ketika tulisan ku harus beradu dengan pemilik modal dan terpaksa mengalah, rasa capeknya begitu terasa. Tapi inilah media. yang selalu di lingkari kepentingan ekonomi dan politik. Singkat kata, aku ingin mneyampaikan rasa terimakasih ku kepada guru-guru kehidupan yang dengan leluasa memberikan pelajaran berharga. 

Dan aku percaya, setiap orang yang aku temui adalah anugerah sang pencipta kepada hamba-NYA untuk selalu memperbaiki diri.

Ditulis Bogor, 4 Agustus 2013
@Graha Pena,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,