Langsung ke konten utama

Coretan usai Pilpres 2014


Coretan usai Pilpres 2014 



 Hari ini pemilihan presiden (pilpres) telah usai. Sayangnya, akhir pesta demokrasi ini harus ditutup dengan aksi saling caci maki antar kubu pasangan capres-cawapres. Lontaran kata-kata pedas,manis, asin terus berteriak melalui broadcast bb yang tak henti-hentinya.
Orang yang pro pasangan A, akan serta merta menuduh, menuding, menjelek-jelekkan pasangan B. Begitupun pula sebaliknya.

Dan saya melihat virus narsisme kian mewabah diantara pendukung pasangan calon. Masing-masing menjagokan diri, menunjukkan kelebihan dirinya untuk meyakinkan kalau dirinya memiliki kapasitas sebagai pemimpin bangsa.
Ada yang menunjukannya melalui tayangan berbayar alias iklan. Bersikap ramah, padahal hati sebenarnya siapa yang tahu.

Saya juga miris, ketika salah satu stasiun televisi yang dikenal dengan pemberitaannya justru dipojokkan lantaran dianggap menyebarkan informasi yang tidak akurat.

Saya tidak membela kubu A atau B. Saya hanya merasa prihatin, dengan kondisi negeri. Ketika kepentingan ekonomi politik melebihi kepentingan media yang seharusnya tetap mengedepankan fungsi kontrol sosial. Kini justru media seoalh terbeli oleh para penguasa. Siapa lagi kalau bukan pemilik modal.




Ya.. Ya.. Ya..
Pemilik modal yang seringnya merasa angkuh, merasa dirinya membayar. Dan mereka berpikir, seakan dunia berada dalam gengaman.

Bahkan saya merasa sedih, ketika membaca salah satu berita online yang menyebutkan bila ada salah satu pasang capres yang memarahi seorang wartawati. Saya tidak tahu apakah itu benar terjadi atau lagi-lagi berita yang mengada-ada.

Kalau itu benar, saya berharap para pemilik modal yang menaungi media-media di negeri ini bisa dibukakan mata hatinya di bulan puasa. Buat saya, apa yang dilakukan bapak terhormat itu adalah bentuk intimidasi terhadap profesi jurnalis.

Logika saya berpikir, apabila belum terpilih saja berani memarahi profesi jurnalis, bagaimana ketika sudah terpilih. Sementara, yang namanya pemimpin, pejabat tidak akan pernah lepas dari kritikan.

Curahan hati pekerja media kecil, yang ingin tetap mempertahankan nilai-nilai jurnalistik sesuai kode etik. Kata-kata yang selalu saya pegang adalah media merupakan pilar ke empat dalam negara demokrasi.

Tidak ada strata antara eksekutif, legislatif, yudikatif dan media. Semua setara. Termasuk para awak media yang sering dianggap tak lebih dari sekadar buruh ketik dengan gaji pas-pas-an.

Betul juga kata senior, idealisme itu akan tumbuh manakala ekonomi seseorang sudah terjamin.

Akhir kata, semoga presiden terpilih adalah presiden pilihan Allah SWT. Yang akan membawa kebaikan untuk Indonesia. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Wabup, ‘Siapa Dapat Apa’

Polemik pengisian wakil bupati (wabup) Bogor terus saja bergulir. Tarik menarik kepentingan antara partai politik (parpol) pengusung Rachmat Yasin- Nurhayanti (RAYA) saat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2013 membuat suhu politik di Kabupaten Bogor kian memanas. Masing-masing parpol berusaha mempertahankan jagoannya aga r bisa menjadi pendamping Nurhayanti. Segala cara dilakukan agar tujuannya tercapai, apalagi kalau bukan demi kekuasaan. Politik tidak pernah lepas dari kepentingan. Sebab, politik menyangkut ‘ siapa dapat apa’, seperti yang diungkapkan pakar politik Amerika serikat Harold D Lasswell.

Rio... Tolong Jemput Aku

Malam itu, tubuh Rena mendadak menggigil. Suhu tubuhnya lumayan tinggi, sementara posisinya masih di kantor. Beruntung, malam itu pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu finishing yang dilakukan rekannya. Sambil rebahan, Rena membaringkan tubuhnya di ruang pojok yang ada di kantor. Ruang itu memang biasa dipakai untuk segala rupa. Ada yang tidur, gosip, makan bareng, solat dan juga rapat setiap awal pekan. Rena melipat tubuhnya untuk mempertahankan suhu tubuh yang malam itu dirasanya nano-nano.  Antara dingin yang menusuk kulit dan panas disertai kepala pusing hingga membuat matanya jadi berair. Dan ujungnya, air mata pun membanjiri wajahnya yang sudah terlihat layu. Sambil menggosok-gosokan tangan Rena coba mengembalikan suhu tubuhnya kembali normal. Itu juga cara dia menghilangkan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Malam itu sudah cukup larut. Dia pun sempat dilema apakah akan meminta jemput atau memaksa diri untuk pulang sendiri mengendarai moto

Menanti Takdir Tuhan untuk Disa

Adam dan Disa. Hubungan keduanya masih terbilang baik. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini Disa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Adam. Bukan karena tak suka, tapi karena ia tak ingin terlarut dalam perasaan yang belum jelas ujungnya. Malam itu, sebuah pesan muncul di ponsel Disa. "Besok libur, kemana kita'? begitu isi pesannya. Adam mengajak Disa pergi lagi. Tapi kali ini, gadis itu menolak. Karena alasan terlalu sering bepergian tiap kali libur akhir pekan. Disa memang terbilang wanita aneh. Kadang, ia menyukai berada di tengah keramaian. Berkumpul dengan teman-teman kantornya sesekali. Tapi,ia pun menikmati waktu sendiri, meski hanya bersama laptop dan alunan musik. Disa menolak karena ingin bersama keluarganya. Ia merasa tak enak hati jika tiap libur, ia harus keluar rumah. Lalu kapan waktu untuk ayah, ibu dan saudaranya. Begitu isi pikiran Disa saat mendapat ajakan Adam. Beruntung, Adam cukup pengertian. Keduanya pun gagal bertemu.  Dalam hati Disa,